Friday, December 10, 2010

UKHWAH ISLAM VS ASOBIYAH BANGSA


Sejarah berkaitan “Kekalahan Perang Uhud” telah menyedarkan kita kembali betapa umat Islam pada hari ini berada di posisi yang membimbangkan dan lemah hampir dalam setiap lapangan. Perang Teluk yang semakin memecah-belahkan umat demokrasi Aljazair, kisah pembantaian di Bosnia-Hercegovina, pengusiran di Myanmar, intifhada Palestin, Afghanistan. Umat Islam tersudut dan terus terperosok dek serangan minda barat. Demokrasi yang sangat diagungkan di barat dan Amerika dianggap benar dan terus menguntungkan poket Barat keparat, maka demokrasi hanyalah tinggal nama dan telah terlucut dan terlondeh maknanya. Maka demokrasi tetap gah dalam makna “alat untuk mengukuhkan hegemoni Barat” dan tidak untuk Aljazair. Ketika perang Teluk berkobar, respon untuk membantu Quwait segera muncul dan bayangkan bagaimana sibuknya Amerika dengan gaya Polisi Dunia. Bandingan dengan kasus Palestin dan Bosnia. Adilkah?? Jangan ditanya soal keadilan disini. Kerana keadilan telah dibaham kenyang oleh hegemoni mereka, keadilan hanyalah untuk kepentingan mereka. Konsep keadilan yang murni telah disirna dek perut gendut Amerika dan sekutunya. Negara kuat adalah negara kuat, negara lemah tidak akan pernah mempunyai hak yang sama dengan negara kuat, meskipun itu tertulis besar-besaran di dalam fail dan dokumen mereka. Negara kuat apapun tindakannya tetap dapat dikemaskini menjadi “keadilan” kononnya.

Umat pada hari ini berada dalam keadaan lemah, kemampuan ketenteraan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan kebudayaan telah terkubur dan sepertinya ingin dilupakan, kalaupun tidak, maka kini menjadi nostalgia manis belaka. Rentetan sejarah mencatat betapa umat Islam hampir tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran pemikiran dan ketenteraan, meskipun dengan jumlah prajurit yang lebih sedikit, bahkan emperor Rom yang besar telah dikalahkan General Salahuddin al-Ayubi dalam Perang Salib. Ilmu pengetahuan dan budaya Islam memimpin dunia lebih dari 600 tahun, 350 tahun sebelum tahun 1100 M dan 250 tahun setelah tahun 1100 M. Karya tenun Parsi, arkitek Turki Islam, bahkan cerita seribu satu malam seperti: Aladin, Simbad, Ali Baba, Abu Nawas, memukau banyak budayawan Barat.

Persoalannya, mengapa umat terdahulu terlalu ‘anggun’ dan cemerlang, bayangkan pemerintahan Islam di Cordoba, Sepanyol yang kini menjadi lemah dan sangat lemah, bahkan terinjak dan dihina dek barat dan konco gengsternya? Jawapan dari persoalan ini hendaklah muncul dari renungan diri, tafakur atas masa lampau, masa kini dan peranan yang akan dipikul bebanannya oleh umat masa depan.

Umat terdahulu lebih peduli akan ayat-ayat Allah. Ketika mereka diperintahkan untuk mentadabbur ciptaan Allah, mereka berfikir dan hasilnya adalah “cap A”. Rasa cinta pada Islam muncul dalam karya-karya arkitek masjid, tenunan, ahli perniagaan dll. Bahawa kemenangan PASTI Allah berikan kepada orang-orang yang beriman hanya dan bila orang-orang beriman menjadikan Allah, rasul-Nya sebagai panduan dan pertolongan dan orang-orang beriman sebagai penolong dan bukan pada taghut.

“Dan barangsiapa mengambil Allah, rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itu PASTI menang “ (Qur’an 5:56)

Selama umat Islam hari ini tidak melaksanakan perintah ini, maka wajarlah kekalahan menjadi milik umat Islam dalam setiap lapangan samada fizikal mahupun keintelektualan. Walaupun kemenangan yang datang, maka itu bukanlah kemenangan yang haq. Sesungguhnya kemenangan yang haq itu hanya akan muncul setelah Allah dan rasul-Nya terlekat dalam sanubari seorang mukmin, menjadikan Allah sebagai ilah dan rasul-Nya sebagai tauhidul uswah, serta menjadikan orang-orang beriman sebagai saudara ukhuwah. Umat Islam akan selalu menang selama mana 2 potensi Islam ini dilaksanakan: aqidah dan ukhuwah dimiliki dan wujud dalam dunia realiti bukan fantasi dan igauan mimpi yang akhirnya menjadi tragedi ngeri dan misteri.

Islam dengan potensi ukhuwahnya, rentetan sejarah telah membuktikan Islam mampu menyatukan suku Quraisy, mendamaikan suku Aus dan Khazraj di Madinah yang sebelum itu mereka saling bermusuhan. Suku, ras dan bangsa memang telah ada di bumi dan merupakan sunatullah (Al Hujarat:13), namun Islam menolak fahaman pengabdian pada ras, suku atau bangsa terlalu tinggi dan ditempat yang salah. Ras, suku atau bangsa tidak layak untuk berada di maqam tertinggi. Pengabdian hanya layak untuk Allah. Berperang bukan untuk menjadi pahlawan bangsa,akan tetapi sebagai syuhada, berjihad di jalan Allah, untuk mempertahankan aqidah Islam. Suku Aus setelah memeluk Islam tetap suku Aus, begitu juga suku Khazraj. Namun setelah mereka bersyahadah, menyatakan hanya Allah saja tempat pengabdian, hanya Allah saja yang berhak menerima ‘anugerah’ sebagai Tuhan, maka suku Aus atau Khazraj adalah sama, sama-sama mendapat ‘jawatan’ sebagai hamba Allah dan hanya insan yang bertaqwa kedudukannya tinggi di hadapan Allah, mereka terpautkan pada tali aqidah dan mereka tidak lagi menganggap bahwa suku mereka lebih baik dari suku yang lain. Suku dan bangsa hanyalah soal ruang, geografi, administrasi dan akan cair dek cahaya aqidah, ukhuwah serta aturan Islam. Tiada perbezaan antara Salman al-Farisi dari Parsi atau Huzaifah al-Yamani (yang berasal dari Yaman). Suku, ras atau bangsa bukanlah perbezaan yang bermakna dalam Islam.

Potensi ukhuwah sendiri muncul mengikut potensi aqidah dan ukhuwah merupakan nikmat yang Allah berikan yang muncul atas kehendak Allah.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada TALI ALLAH dan janganlah kamu bercerai-bera dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika kamu dahulu(masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu lalu MENJADILAH KAMU KERANA NIKMAT ALLAH orang-orang yang BERSAUDARA “ (Qur’an 3:103)

Allah memerintahkan orang-orang yang beriman agar berpegang pada tali Allah, tali aqidah, tali yang amat kuat yang tidak akan putus (Qur’an 2:256). Tali yang mengalahkan bukan saja kesamarataan bangsa, bahkan mampu mengalahkan pertalian darah (kisah ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, ramai kaum muslimin Makkah yang terpaksa meninggalkan keluarga, saudara sedarah demi tali aqidah). Manakala hati setiap mukmin telah terikat pada tali aqidah yang tunggal, seorang mukmim sudah terlalu yakin bahawa hanya Allah sahaja yang di cari, redha Allah sahaja yang di harap, hanya Allah sahaja ilah, Khaliq, Malik, Hakim, Pemberi Rezeki kepada makhluk-Nya, barulah Allah akan menurunkan nikmat-Nya berupa persaudaraan, ukhuwah Islamiyah. Hanya Allah sahaja yang mampu mempersatukan hati setiap mukmin.

“Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, nescaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka (orang-orang beriman), akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka “ (Qur’an 8:63)

Dengan demikian ukhuwah adalah persaudaraan aqidah, persaudaraan hati, bukan sekadar persaudaraan fizikal apalagi lisan. Persaudaraan yang menyatukan umat sebagai jasad yang tunggal. Maka saudara-saudara di Bosnia, Palestin, Kahsmir, selatan Thai dll tidak berbeza dengan diri kita yang berada jauh dari mereka, dengan sanak keluarga kita, dengan bapa ibu atau anak-anak kita.

Oleh yang demikian, marilah kita bermuhasabah, untuk menilai diri kita, sudahkah aqidah tauhid ini tertegak dalam diri kita, sudahkah nikmat ukhuwah meresapi hati dan setiap liang-liang rongga badan kita, sudahkah tali-tali Allah merapatkan kita dalam saf yang teratur seakan-akan seperti bangunan yang kukuh yang sangat disukai Allah? Jika umat pada hari ini masih lebih mencintai kaum keluarga, harta kekayaan, pangkat, perniagaan lebih dari pada Allah dan rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya, maka tunggulah sehingga Allah menurunkan keputusan-Nya, kekalahan secara berepisod, diinjak dan dihina dalam setiap sudut, sehingga Allah menurunkan suatu kaum dimana Allah mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir serta berjihad di jalan Allah dan tidak takut terhadap celaan dan ancaman orang-orang yang suka mencela. (Qur’an 9:24 dan 5:54).

“Andai Islam seperti sebuah bangunan usang yang hampir roboh, maka akan ku berjalan ke seluruh dunia mencari jiwa-jiwa muda, aku tak ingin mengutip dengan ramai bilangan mereka, akan tetapi aku ingin hati-hati yang ikhlas untuk membina kembali bangunan itu” (Imam Hasan al-Banna)